Sumber : http://lomba.kompasiana.com/blog-kemerdekaan/2010/08/16/akhirnya-aku-kembali-... Cocok buat perenungan bagi sahabat-sahabat yang masih di dalam lingkaran NII Zaytun --- Dulu, pada tahun 1989-1998 aku amat membenci Indonesia. Kebencian ini tertanam sejak aku masih SMP. Saat itu, aku merasakan kemiskinan menjauhkanku dari keinginan bersekolah dengan tenang. Setiap bulan selalu ditagih SPP bulan kemarin. Kesulitan itu terus berlanjut pada masa SLTA. Aku tak sanggup masuk ke sekolah yang uang pangkalnya jutaan. Akhirnya terpaksa belajar di sekolah pinggiran kota, yang gurunya datang semau-maunya. Kemiskinan menumbuhkan kekecewaan. Kekecewaan menumbuhkan dendam. Itu yang kualami. Bagaimana perasaan Anda jika selama 3 tahun sekolah tak pernah sekalipun memegang Raport? Itu kualami karena penghasilanku dari berjualan sandal kulit keliling kampung, tak pernah bisa melunasi SPP bulanan. Akhirnya aku lulus, meskipun tak pernah sekalipun memegang Raport apalagi Ijazah. Harapan untuk kuliah kubunuh saat itu juga. Mana mungkin kuliah tanpa ijazah? Sulitnya mendapatkan pendidikan yang nyaman, menumbuhkan kebencianku kepada pemerintah Republik Indonesia yang semestinya berkewajiban memelihara rakyatnya yang miskin dan terlantar. Kebencianku tersalurkan ketika bertemu dengan kaum muda anti Republik Indonesia. Mereka merekruitku menjadi bagian perjuangan gerakan bawah tanah. Sentimen politik dan religius menjadi bagian dari makanan harianku. Semangat anti pancasila, anti rejim Suharto, anti tentara, menjadi daya hidup. Menjadi obor yang tak akan pernah padam. Hampir 10 tahun aku hidup dalam dunia bawah tanah. Berkeliling kota dan desa untuk merekruit anggota. Singgah ke tiap kampus dan sekolah untuk mencari darah segar, generasi muda yang akan menggulingkan kekuasaan dzalim Orde Baru. Hari-hariku adalah perjuangan suci. Apapun kata orang di luar sana, tak pernah kupikirkan karena mereka bukan orang yang pantas didengarkan keraguannya. Hidup dalam dunia pergerakan ternyata memiliki dunianya sendiri. Bukan hanya rasa persaudaraan dan senasib-sepenanggungan. Lebih dari itu, rela berkorban nyawa demi kelangsungan perjuangan adalah hal yang utama. Wajar bila ada di antara kader yang siap mati syahid melalui bom bunuh diri. Itulah jalan menuju surga. Ancaman penguasa adalah tantangan yang menyenangkan. Hampir 10 tahun aku hidup dalam impian menggapai kehidupan yang adil dan menyejahterakan rakyat kecil. Aku bermimpi seperti Izetbegovic, Mahatma Gandhi, Imam Khomeini, Ernesto Che Guevara, Fidel Castro, Kartosuwiryo, dan semua tokoh perubahan. Bahkan aku bermimpi seperti para nabi dari zaman ke zaman yang memimpin sebuah perubahan. Mimpi mengubah Indonesia adalah cita-citaku. Terutama mengubah hegemoni Orde Baru yang menyelewengkan amanat penderitaan rakyat bertahun-tahun. Yang menjadikan negara ini sebagai sumber daya bagi kehidupan keluarga dan para penyanjungnya. Namun kebencian itu selalu mereda setiap tanggal 17 Agustus. Diam-diam, aku masih menyimpan rindu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Setelah nyaris 10 tahun hidup dalam kebencian, aku masih bisa menangis haru ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya, Indonesia Pusaka, Padamu Negeri… dan momentum itu selalu terjadi ketika bangsa Indonesia merayakan hari kemerdekaannya. Dipicu oleh pertanyaanku yang tak sanggup dijawab oleh elit pergerakan yang kugeluti, keraguan mulai menjalar di nadiku. Aku dan teman-teman sepemikiran makin mengkritisi kemurnian perjuangan kami. Berbagai kontradiksi yang kami alami di dalam, semakin memicu untuk mengambil keputusan yang kuakui berat, bagi para aktifis : Kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Keputusan itu menanggung resiko. Bukan hanya tudingan kafir, namun dalam beberapa kasus, darah mereka yang meninggalkan pergerakan dan kembali ke NKRI adalah halal ditumpahkan. Namun keputusan harus dibuat. Apapun resikonya harus dilakukan, demi hati nurani, demi kecintaanku kepada bangsa ini. Agar aku bisa menyanyikan lagu-lagu bangsa tanpa ketakuan. Bernyanyi dengan ringan. Bernyanyi dengan merdeka. Beberapa bulan menjelang tragedi Mei 1998, menjelang momentum reformasi. Akupun mendeklarasikan kembali menjadi Indonesia. Masa laluku hanyalah kenangan untuk sebuah pelajaran. Masa itu kutuliskan dalam sebuah novel dan beberapa kesempatan wawancara di radio dan TV. Hanya satu tujuanku melakukan itu : Cukup aku saja yang pernah membenci Indonesia! Sumber : http://lomba.kompasiana.com/blog-kemerdekaan/2010/08/16/akhirnya-aku-kembali-...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar