Sumber : http://mataharitimoer.blogdetik.com/2011/05/14/terdesak-untuk-bicara-nii/ Judul Awal = Terdesak Bicara NII, Aku tulis demikian, karena memang sejak awal rame-rame tentang kasus NII KW9 Az-Zaytun, aku tak mau bicara kepada media. Sikap ini terbentuk karena kupikir sudah cukuplah para ahli, penegak hukum, aparat keamanan, pemerintah, bahkan sampai mantan aktifis NII KW9 Az-Zaytun memberikan testimoninya di televisi dan koran. Tetapi rupanya memang sulit juga mempertahankan diri untuk tidak mengemukakan pandanganku. Desakan media, terutama yang sudah datang menemuiku di Bogor, tak bisa kutolak dengan menyuruh mereka pulang. Akhirnya dengan berbagai pendekatan, merekapun berhasil membuatku bicara. Apa yang kukatakan? Lha, orang sudah banyak yang bicara koq beberapa pekan ini. Dalam dialog dengan beberapa tokoh agama, intelkam, ormas, dan juga mantan aktifis NII KW9 di kantor Redaksi Radar Bogor kemarin sore, aku kemukakan pendapatku. Melihat NII pasca 1962 adalah seperti melihat sebuah guci pecah. Suatu ketika direkatkan kembali meskipun tetap rentan perpecahan internal. Potret NII adalah potret tentang disintegrasi dan rekonsolidasi. Selalu terjadi seperti ini. Di awali dengan perpecahan menjadi dua kubu, fillah vs sabilillah. Kubu pertama bersikap untuk tetap berdakwah dalam bidang pendidikan dan moralitas. Sedangkan kubu sabilillah tetap pada sikap mempertahankan kondisi perang dan bergerilya membangun kekuatan muda.Kedua kubu tersebut saling klaim kepemimpinan pengganti almarhum Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Selanjutnya terjadi beberapa kali rekonsolidasi. Tahun 1963-1967 rekonsolidasi digagas oleh Haji Ismail Pranoto (Hispran) hingga berkembang menjadi faksi yang populer disebut Jama’ah Islamiyah. Pada 1968-1969 Juga dilakukan rekonsolidasi oleh Aceng Kurnia yang membentuk PRTI (Persiapan Resimen Tentara Islam). Pertemuan rahasia ini dihadiri oleh tokoh utama seperti Adah Djaelani, Ateng, Tahmid, dan lainnya yang tak tersebutkan. tapi pertemuan tersebut tak berlanjut dengan kaderisasi. Justru setelah itu muncullah pertentangan antara generasi muda versus generasi tua Daarul Islam. Rekonsolidasi dimulai kembali pada 24 April 1971 di rumah Danu M. Hasan di Bandung. Pertemuan ini disponsori oleh BAKIN (Intelijen) yang diotaki oleh Ali Moertopo. Tentang hal ini, sudah menjadi obrolan biasa di kalangan aktifis DI/NII, jadi bukan rahasia lagi. Seperti biasa, setelah rekonsolidasi selalu dilanjutkan dengan perbedaan sikap dan pecah kembali. Sehingga pada 1973 ada pertemuan rahasia antara Aceng Kurnia dengan Daud Beurueh, yang mengangkat Tengku DB sebagai imam. Pada 1978 Adah Djaelani membentuk KW9 dan mengangkat dirinya sebagai imam. hal ini ditentang oleh kalangan DI yang lain karena dengan demikian Adah dianggap melakukan kudeta terhadap Tengku Daud Beureueh. Penentangan ini lebih kuat karena mereka yakin bahwa Adah dekat hubungannya dengan BAKIN. Baru pada 1990 Adah Djaelani melimpahkan kepemimpinan kepada Abu Toto alias Panji Gumilang yang hafal sekali dengan Pancasila, kalau lagi ditanya media :D Untuk diperhatikan oleh media, bahwa kemunculan Abu Toto Salam alias Panji Gumilang sejak awal tidak diterima oleh kalangan DI. Label NII pun sebenarnya dibranding oleh Abu Toto itu, bukan oleh tokoh-tokoh lainnya yang lebih fundamentalis dan lebih santun ketimbang dia. Gerakan NII KW9 yang digembongi oleh Abu Toto ini sebenarnya tak benar-benar punya misi mendirikan negara Islam. Jadi wajar kalau pemerintah tak pernah khawatir dengan eksistensi mereka. Gerakan ini adalah murni komplotan kriminal berjaket NII. Misi utamanya hanya fundraising. Mereka hanya meresahkan kalangan rakyat jelata saja, tidak untuk kalangan borjuis, apalagi penguasa. Jadi wajar jika pemerintah ataupun wakil rakyat kita tak merasa penting untuk membereskannya. Tapi cukuplah tentang masa lalu. Masih banyak cerita tentang disintegrasi dan rekonsolidasi yang tak perlu aku umbar di sini. Namun perlu DICAMKAN oleh media, bahwa potret disintegrasi dan rekonsolidasi ini selalu melibatkan pihak INTELIJEN. Inilah yang membuat topik tentang DI atau NII tak akan pernah selesai. Mengingat strategi “Pancing dan Jaring” yang biasa dilakukan intelijen, cara ini efektif untuk menangkapi tokoh-tokoh DI/NII. Siapa yang bisa membongkar intelijen? Karena itu, jangan salahkan polisi, tokoh agama, MUI, tokoh ormas, ataupun LSM yang dianggap tak bekerja dengan baik dalam mengantisipasi maraknya perkembangan NII KW9 dan atau gerakan fundamentalis lainnya. Banyak orang berharap tokoh utama NII KW9 Az-Zaytun, ditangkap dan diproses secara hukum. Nah inilah yang sulit dilakukan. Dalam proses hukum positif, amat sulit sekali membawa tokoh utama itu ke pengadilan. Pasti kepolisian dan orang-orang hukum tetap berpendapat “Tak cukup bukti”. Meskipun ada testimoni para korban, tetap saja tak bisa dilanjutkan ke ranah hukum karena tak ada bukti fisik. Memang faktanya terjadi kasus penipuan, penculikan, hipnotis, cuci otak, dan semacamnya yang menjadi domain kriminal. Tetapi itu adalah kasus-kasus yang terjadi di atas meja. Sedangkan masalah NII KW9 ini sebenarnya terjadi di kolong meja (Intelijen). Kalau memang begitu, siapa sesungguhnya yang bermain dan mengambil keuntungan dalam topik NII KW9 ini? Apakah ini merupakan kelanjutan dari tradisi intelijen zaman orde baru dengan strategi “Pancing dan Jaring” untuk menangkap tokoh-tokoh yang lama tak muncul? Ataukah ini branding untuk menggolkan RUU Intelijen/Subversif? Ataukah ini hanya menjadi lakon penutup isu lain yang tak ingin terpantau oleh publik? Ataukah ini terkait dengan kepentingan politik? Ya sudah. Lebih baik kita kerjakan urusan kita saja. Yang masih penasaran, silakan jongkok dan mengintip ke kolong meja :) Sumber : http://mataharitimoer.blogdetik.com/2011/05/14/terdesak-untuk-bicara-nii/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar