Jumat, 13 Februari 2009

PENGALAMANKU DI NII KW9

Awalnya, pada akhir tahun 1994 M, saya selalu didekati kakak angkatan waktu kuliah (Abdullah Arief, Teknik Sipil UGM 1992 akhirnya D.O). Saya kuliah di Jurusan Teknik Nuklir angkatan 1993. Saya sering bincang-bincang dengan dia karena waktu itu saya udah cukup percaya dengannya, yang dulu juga kakak kelas saya waktu di SMA. Pertamanya dia sering mengajak bicara tentang kondisi sosial, agama, dan politik pada masa itu. Kemudian pembicaraan mulai intensif ke masalah agama.

Dia mulai menjelaskan agama sebagai suatu sistem, yang dikongkritkan dalam bentuk negara. Dia menjelaskan dengan berbagai sumber ayat Al-Qur’an. Waktu saya masih sangat kurang pemahaman tentang makna ayat-ayat, sehingga saya nggak berani melakukan bantahan, atau tanya sedikitpun. Saya cuma mengiyakan, walau dalam hati banyak keraguan. Lagi pula kekuatan mental saya waktu itu masih muda atau ciut.

Tahap berikutnya saya mulai ditemukan temennya. Sang teman (Syaiful Khoheri asal Kebumen, mahasiswa MIPA UGM 1987 - akhirnya D.O) menanyai tema-tema atau materi-materi yang sama seperti yang telah disampaikan kakak angkatanku. Bahkan seperti menguji dengan ayat-ayat tentang jihad, berkorban, atau perniagaan. Kemudian diakhiri dengan materi “hijrah”.

Tahap berikutnya, saya diajak keluar kota Yogyakarta, yaitu ke kota Kebumen, kecamatan Prembun. Di sana, diulang lagi materi-materi di atas kemudian dijelaskan yang di maksud sistem Islam adalah …. NII/DI/TII. Walaupun dalam hati masih ragu-ragu juga, karena sejak awal sepertinya saya dikondisikan untuk tidak dapat mengelak atau mengatakan tidak. Akhirnya saya iyakan saja apa yang mereka inginkan, yaitu agar saya hijrah dari RI ke NII. Nggak ada salahnya kucoba, sambil cari pengalaman atau petualangan di dunia ektrim kanan… kataku menghibur hati.

Beberapa hari setelah itu, saya dijelaskan waktu untuk hijrah. Yaitu di Kulon Progo, tanggal 24 November 1994. Saya hijrah dengan sodaqoh Rp. 250.000,00. Saya juga diberi nama baru, yaitu : Ja’far Rabbani. Menurut mereka saya resmi masuk menjadi warga Negara Islam Indonesia, propinsi Jawa Bagian Selatan. Sayang sekali saya lupa nama pimpinan-pimpinana yang menghijrahkan dan menyaksikan saya hijrah waktu itu. Yang saya ingat cuman Sugi (Mahasiswa Teknik Kimia UGM 1988 - akhirnya D.O)

Setelah itu, saya masuk dalam dunia atau suasana baru dalam pribadi kehidupan saya. Saya kaget karena, saya mulai difahamkan bahwa dalam masa perang antara NII dengan RI, boleh tidak melakukan “sholat wajib”. Sholatnya yaa diganti dengan tilawah atau mencari anggota baru. Boleh melakukan fai’ atau mencuri, karena semua harta yang ada di dunia ini diperuntukkan bagi manusia yang sholeh, yaitu warga NII. Boleh melakukan tipu muslihat, atau makar yang dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan sekitar. Karena nota bene itu adalah kehidupan RI, jahiliyah mereka bilang. Saya juga disarankan untuk meninggalkan kuliah, dengan alasan itu didikan jahiliyah. Alhamdulillah itu tidak saya lakukan, walaupun senior-senior (mereka menyebut: bapak-bapak) banyak yang udah Drop Out dari kampusnya masing-masing. Saya juga diwajibkan untuk menyetor infak tiap bulan yang jumlahnya tidak boleh sama atau kurang dari bulan yang lalu. Kalau ini terjadi mereka akan mengacam dengan hadis… “barang siapa yang hari ini sama atau lebih jelek dari kemaren … maka …dst”. Saya harus bagaimana lagi …. ???? Selain itu saya juga diwajibkan mencari kader-kader baru, dengan jalan mencari kenalan, menemui teman-teman lama, untuk kemudian ditilawah dan ditaftis. Untuk mempermudah pekerjaan ini saya digabungkan dengan anggota lain yang bernama : Nur Hidayat (Mahasiswa Teknik Kimia UGM 1989, ini akhirnya lulus). 

Dalam setahun saya hidup, dalam suasana batin sebagai warga NII, saya mendapatkan anak (kader) sebanyak tiga orang (1 cowok, 2 cewek). Saya renungi kembali makna hidup saya di NII …. sepertinya saya ini jadi aneh yaa … Saya makin dijauhi temen-temen dekat saya, karena sebagian mereka ada yang menolak saat saya tilawah, kemudian bilang pada teman yang lain, bahwa saya telah “berubah”. Nilai kuliah saya amburadul karena jarang kuliah…. kata senior saya, “nggak apa-apa demi tugas negara”. Hubungan saya dengan orang tua kandung jadi “dingin” karena saya menganggap mereka kafir, tapi hidup saya secara materi masih tergantung pada mereka berdua. Rasa percaya diriku juga makin luntur, hidup rasanya penuh pesimistik, dan lain-lain. Pernah saya terkejut saat diberi materi oleh senior saya tentang pernikahan. Bahwa perjodohan yang telah ditentukan pimpinan harus dilaksanakan, apapun rintangannya termasuk halangan dari orang tua kandung masing-masing. Yang penting pimpinan udah menikahkan, kemudian dihamili, pasti ortu kandung mereka nggak kuasa untuk menolak, Astagfirullah. 

Bulan Oktober 1995 M, saya membaca artikel di Tempo, bahwa ada NII putih, ada pula NII merah. Kata senior saya, bahwa NII saya emang yang merah tapi tetep satu komando dengan yang dipusat (kata mereka pimpinan pusat dipegang Adah Jaelani). Saya yang baru dengar nama Adah Jaelani, yaa nurut aja apa kata mereka ….. Tapi makin lama, kegalauan, kegelisahan, dan kebingungan menyelimuti hidupku di NII. Akhirnya aku mulai mencari-cari alasan bagaimana bisa keluar dari kebingungan ini, kalau perlu keluar dari NII. Saya sampai bilang dalam hati; lebih baik kafir dari pada hidup pesimis. Umat nabi dulu optimis, aku kok pesimis … apanya yang salah yaa : diriku sendiri atau NII ?

Puncaknya di bulan Desember 1995. Temen satu timku harus pulang ke Semarang (orang tua) karena lulus kuliah, hubunganku dengan senior yang di Jogja juga mulai nggak harmonis, temen-temen NII yang selevel dengan aku juga mulai banyak yang keluar. Akhirnya pada tanggal 18 Desember 1995 kuputuskan keluar dari NII, dengan bilang pada seniorku, yang bernama Abdan Syakuro (atau Syaiful Khoheri) lewat telpon bahwa saya sudah keluar, tidak percaya lagi dengan apa yang ia katakan. Amin. Aku juga bilang pada yunior-yuniorku apa yang telah kuputuskan. Anehnya kok mereka juga ikut keluar sama sepertiku …. yang nggak beres itu aku sendiri, yuniorku, seniorku, atau NII ?????

Setelah keluar, aku kucing-kucingan dengan senior-seniorku, karena mereka mengancam akan membunuku, darah orang murtad itu halal kata mereka. Tapi kalau pas ketemu kok mereka malah yang ngacir nggak karuan … yang salah itu : aku, RI, atau NII sih ????? Kalau NII benar, aku juga merasa sangat berdosa, karena meninggalkan kebenaran, tapi kok begitu ???? aku nggak merasa menyesal meninggalkan NII …. aneh sekali lagi. 

Masa-masa berikutnya kuisi dengan pemulihan baik jasmani yang kurus kering karena dulu kurang gizi (duit habis untuk infak / shodaqoh / tabungan / dll). Juga rohani yang kehilangan rasa percaya diri. Kedua bidang itu berupa, menjalin kembali persahabatan dengan temen-temen lama, rajin kuliah, bakti dengan orang tua, dan lain sebagainya.

============
Update 2009 : Saya dah berkeluarga tinggal di Tangerang kerja di Jakarta Selatan, saya terbuka buat temen2 untuk berbagi cerita, silahkan sms di 08132 8484 289 atau berkirim imel di bahtiar@gmail.com

4 komentar:

  1. Wah nggak nyangka Pak Bah punya cerita hidup seperti ini. Dulu waktu kuliah saya hanya mendengar dari cerita "orang luar" NII, sekarang saya membacanya langsung dari mantan "orang dalam".

    Semoga selalu diberi kekuatan untuk membela kebenaran!

    BalasHapus
  2. aku jg kenal bbrp mbak2 asrama yg ikut nii. tp aku lupa nama2nya.dan memang rata2 mengalami yg mas bah alami, tp ada yg keluar asrama jd aku ngga tahu selanjutnya. ada yg stlh kuluar nii (mba opik) merasa ada yg sll berusaha mencelakai dia, misal meneror, menabrak, dll

    BalasHapus
  3. Ibu Nur, terima kasih telah berbagi pengalaman. Semoga tidak banyak lagi jatuh korban karena NII KW 9 :(

    BalasHapus