Jumat, 30 Oktober 2009

AKHIR PENYUSUPAN DI NII KW 9

Bersambung dari [WAHYU TURUN DI PESANTREN AL ZAYTUN]

Saya diajak ke Bogor hari itu, katanya untuk bertemu saudara-saudara yang ada disana. Tapi nggak jadi. Ada perubahan rencana. Setelah ketemu sama Umi S ,dia membolehkan saya mencari Aldi. Abi izat, yang begitu baik sama saya, langsung mengiyakan ketika saya meminta dia untuk menemani saya mencari Aldi di kosannya. Apes, tentu saja Aldi tidak ada ditempat. Lalu saya diajak menginap di rumah salah satu Abi, yang sudah punya istri dan anak baru berumur sebulan 2 bulan. Abi ini yang ada di desa 5, yang tidak punya biaya saat istrinya melahirkan. Rumah abi ini dekat carefour lebak bulus tapi naik 2 angkot lagi dari situ. Tapi si abi jarang di rumah, saat saya disana Abi itu jam 12 malam keluar, katanya rapat penting dengan atasan. Meninggalkan istrinya yang baru melahirkan dan bayinya. Waktu itu umi (istrinya) bilang sudah biasa mereka di tinggal berdua. Abi Izat juga sudah pulang ke rumahnya, dan minta ongkos balik ke rumahnya sama saya, katanya dia kehabisan duit.

Besok pagi, saya benar-benar merasa tertekan karena hari itu jadwalnya untuk ke Bogor, bertemu dengan saudara-saudara yang lain. Tapi, saya berniat untuk pergi mencari Aldi. Sendirian, sebelum Abi Izat datang. Dengan memberanikan diri, saya berusaha mencari Aldi, ke rumah Sakit tempatnya koas , tapi dia nggak ada. Kemudian ke kosnya, nggak ada juga. Katanya, dia pergi dengan teman wanitanya, teman satu kuliah. Saya berniat menunggu. Karena saya ingin benar-benar bertemu sama Aldi. Yang membuat saya khawatir, kenapa saya nggak sekalian bawa tas waktu pergi, karena dalam tas saya ada buku harian yang berisi rahasia saya tentang NII. Semoga tidak dibaca waktu itu, karena saya masukkin ke dalam tumpukkan baju. Ingin sekali rasanya setelah ketemu Aldi saya bisa langsung cabut ke kota saya naik kereta pertama, tanpa perlu lagi bertemu orang NII selamanya. Ketika sedang menunggu, teman sebelah kamar Aldi, namanya Baim, dia sempat ngobrol sama saya. Kemudian ada teman lainnya namanya Chandra. Baim sempat tanya sama Chandra tentang kemana perginya Aldi, tapi Chandra kelihatan banget seperti tidak suka dengan kedatangan saya. Entah perasaan saya juga tidak nyaman dengan dia. Kemudian, belum berapa lama, dia keluar dari kamar, dan bilang sama saya, kalau Aldi pergi ke Tulugangung. Saya jelas nggak percaya, nggak mungkin banget. Kemudian dia sempat bilang “ Ya kalo nggak ada ya nggak ada, niy baca sendiri smsnya.” .Isi inbox itu, bukan nomor Aldi, tapi gaya smsnya memang itu Aldi, katanya

“ Bilang aja sama cewek itu, saya pergi ke Tulungagung naik kereta “. Saya bingung, kok smsnya gitu, kemudian rasa penasaran saya beralih ke sent item-nya. Saya baca sms yang dia kirim buat Aldi, katanya “ Al, ada cewek dari kota L cari kamu, katanya dia pengen nungguin kamu sampai kamu pulang “. Dan tadi yang diatas itu balesan Aldi, yang kata “ Bilang aja…” jelas itu merupakan kalimat ngeles, penolakan, pengecut dan ingin sembunyi. Saya memperlihatkan sms itu sama Baim, yang kemudian senyum masam aja. Tak lama ketika Chandra sudah berangkat kerja, Baim, sempat heran, ada apa sebenarnya. Lagi-lagi, sifat saya yang suka blak2an kalau udah nyesek di dada nggak peduli dia siapa kembali lagi. Saya cerita semuanya apa yang terjadi. Baim yang kerjanya supir ambulans itu jelas kaget. Dari ekspresi wajahnya, saya yakin dia bukan NII. Dan saya bercerita pada orang yang tepat. Karena, dia bilang, abang dia udah 5 tahun nggak pulang karena ikut aliran itu. Setau dia, abang dia pernah pulang waktu tiba2 bawa foto2 cewek, yang ditanyakan sama ibunya mana yang paling cantik untuk dinikahi. Setelah menikah, dia jadi jarang pulang. Mas Baim, dia cukup prihatin dengan keadaan Aldi dan berjanji kalau Aldi pulang dia mau sms saya.

Kembali ke rumah orang NII jelas merupakan pukulan bagi saya. Saya nggak mau balik, dan menyesal sekali meninggalkan tas saya disana. Hari itu, dengan baju melekat di badan saya menginap di tempat kos temen saya waktu SMU. Saya nggak balik ke rumah Abi itu. Handphone saya juga tidak dihubungi2 sama orang NII. Mungkin mereka marah karena saya sudah pergi tanpa pamit padahal mungkin saja schedule saya waktu itu penuh sama mereka. Besok, pagi-pagi sekali jam 6 shubuh saya sudah pergi ke tempat Aldi, kali ini saya benar2 mau mengajak dia ngomong dari hati ke hati. Mas Baim bilang Aldi semalam nggak pulang, tapi setelah sampai di kosan Aldi, saya tau Aldi ada didalam mau ke Rumah Sakit. Saya mengetuk pintu, Aldi membuka dan tampak terkejut, was-was dan berusaha kelihatan tidak tau apa2, mungkin memutar otak cari alasan apa yang membawa dia kembali begitu cepat dari Jakarta-Tulunagung-Jakarta lagi hanya dalam waktu sehari. “ Hai, mau ngapain kesini” .Sapaan basa-basi, pura2 tak ada yang terjadi. Saya bilang saya mau ngomong, tapi karena Aldi mau berangkat kerja, dia menyuruh saya tinggal istirahat dikosnya dan titip kunci kalau saya sudah mau pulang,,Fyuh, kali ini saya nggak mau kalah. Saya harus bisa ngomong sama dia. Meskipun waktu itu rasanya lelah sekali, tapi saya nggak bisa berdiam lebih lama, kembali pada janji saya, terbayang lagi wajah orang tuanya,dan saya, gadis bego sok tau dengan keingintahuan yang sudah akut, ego besar dan tidak puas jika masih ada yang mengganjal, membuat saya rela nungguin Aldi sampai selesai koas. Aldi berjalan bahkan tidak mau dekat2 saya, seolah nggak kenal,dia bahkan nyari nomor Umi S buat kasih tau saya ada dimana. O-oh, tolong jangan. Jangan sekarang saya bertemu Umi S. Tapi untung waktu itu nggak jadi. Saat saya tanya, mau nggak bantuin saya menjenguk kakek dan nenek yang sekarang sedang sakit, dia nggak mau. Rencananya mau diajakkin ke rumah orangtua mas H (Mantan pacar Mbak Anlene), biar dia tau keadaannya gimana. Dan jelas Aldi nggak mau ada ruang lebih lama dengan saya. Tetapi Aldi, yang waktu itu mungkin masih memiliki sedikit hati nurani, menghargai perjuangan saya yang nekat ketemu orang penting di NII seperti dia, dengan membolehkan saya menunggu di ruang tunggu tempat dia praktek di rumah sakit.

Belum berapa lama, sekitar setengah jam menunggu, Aldi mengusir saya dari situ, dia bilang saya beban buat dia. Iya, sudah jelas. Dia nggak mau saya tungguin, padahal dia sudah janji sama saya boleh ditungguin. Dia mengantar saya sampai dapat angkot, karena saya nggak tau arah untuk mengambil tas saya dirumah si Abi. Dalam perjalanan, saya mencoba mengorek2 lagi sama dia, saya mengeluh, kenapa harus orang kaya, kemarin saya dapat taftis tapi ditolak hanya karena dia miskin, tapi Aldi bilang memang harus begitu, dan diam nggak mau bahas itu lagi. Saya tau. Sudah jelas jawabannya, ini akhir kunjungan singkat saya di NII. Aldi, sudah terlampau jauh kepercayaannya, dia bahkan nggak peduli dengan cerita nyata yang saya ceritakan sama dia tentang Bayu yang ditolak didekati hanya karena dia dipandang nggak punya apa2 buat hijrah. Sebelum naik angkot, saya minta untuk terakhir kalinya, Aldi menatap mata saya, jika kata orang mata nggak bisa bohong saya ingin buktikan saat itu juga. Dan dari cara dia menatap, saya mendapat sedikit kerinduan di mata dia untuk bisa bersikap sewajarnya saja sama saya, tanpa harus bersikap kasar, saya langsung memalingkan wajah dan Aldi akhirnya tertawa, kembali ke sikap dia yang semula, tak peduli. Perjalanan ke rumah sang abi cukup jauh, setelah sekitar 3 kali ngoper, sampai juga di rumahnya, daerah Lebak Bulus. Sampai disana, saya sempat disuruh makan, tapi saya cuma ngambil tas dan langsung pengen cabut. Tapi si umi menahan saya, katanya saya dicari Abi Izat, dan harus lapor dulu. Diruangan salah satu rumah, ruangan tertutup yang kata umi ruangan itu nantinya akan dipakai untuk tempat proses hijrah, ada telepon dan saya boleh memakainya untuk nelpon Abi Izat. Seingat saya, waktu itu nomornya nggak bisa dihubungi. Tak lupa berucap trimakasih karena sudah boleh menginap disana (Biar bagaimanapun abi dan umi itu baik sekali sama saya, dan saya prihatin dengan keadaan mereka). Saya pamitan, dan segera meluncur mencari kereta terakhir ke kota saya, dan apesnya, karena perjalanan yang begitu jauh saya ketinggalan kereta, akhirnya saya dapet tiket tanpa tempat duduk dan setelah itu ngoper kereta lagi. Saya nggak peduli, biarlah saya dicap seperti apa, yang penting saat itu saya benar2 pengen lari dari mereka sejauh mungkin dan buang jauh2 keinginan untuk bisa bersama mereka lagi.

Sampai di kota saya, saya sempat telpon sama Abi Izat, katanya lain kali jangan main lari gitu aja. Abi Izat yang begitu baik sama saya dan nggak pernah marah, saya akan selalu ingat kebaikannya. Abi Izat ini keadaannya sangat memprihatinkan, semakin lama badannya makin menciut, seperti tulang belulang, dan dalam keadaan seperti itu dia juga harus tetap menjalankan tugasnya di NII. Bahkan sempat opname kecapean, Typus kalau nggak salah. Setelah telpon beralih ke umi S, kita saling bantah-membantah, tapi saya nggak peduli lagi, saya tetap bersikap tenang, saya bilang keberatan2 saya, dari hal yang paling dasar, kenapa kalau mau Islam seutuhnya harus milih dan harus punya mobil. Umi S bilang saya memang keras kepala, dan ini yang membedakan saya dan Aldi, begitu katanya. Suara umi makin lama makin meninggi, dan saya cuma ketawa dikit dan bilang “ Jangan pake urat, mi…”, dia bilang gini ‘ siapa yang pake urat…? Dasar kamu itu keras kepala”, si umi bilang begitu tapi suaranya malah makin meninggi, jelas-jelas pake urat. Saya langsung mengucapkan salam dan menutup telpon, padahal si umi masih ngomong diseberang sana. Sudahlah. Kisah NII ini sudah tamat bagi saya saat itu. Dan masalah Aldi, sudah cukup saya berusaha, selainnya saya serahkan sama yang diatas. Saya nggak pernah merasa menyesal, sama sekali nggak. Saya malah senang karena bisa dapet pengalaman pahit2 manis bersama NII, tanpa bisa terseret masuk ke dalam.

Bersambung ke [PASCA KELUAR DARI NII KW 9]

Ditulis ulang oleh :
Bahtiar Rifai
Mantan NII KW 9
HP. 08132 8484 289
Email : bahtiar@gmail.com
Ilustrasi diambil dari situs [ini]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar